Indonesia telah
dikenal sebagai salah satu Negara penghasil Gaharu didunia, karena mempunyai
lebih dari 25 jenis pohon penghasil Gaharu yang tersebar di Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Gaharu merupakan
Komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini masih banyak diminati oleh
konsumen,baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dilihat dari wujudnya, Gaharu merupakan gumpalan
berbentuk padat, warnanya coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum (jika
dibakar) yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil
gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi
oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu tidak semua tumbuhan penghasil gaharu
menghasilkan gaharu. Beberapa jenis tumbuhan penghasil gaharu potensial antara
lain : Aqualaria spp., Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan Gonystylus.
Pemanfaatan gaharu di Indonesia oleh masyarakat
terutama di pedalaman Sumatera dan Kalimantan berlangsung puluhan dan bahkan
ratusan tahun yang lalu. Secara tradisional gaharu dimanfaatkan antara lain
dalam bentuk dupa untuk upacara ritual dan keagamaan. Pengharum tubuh dan
ruangan, bahkan kosmetik dan obat-obatansederhana. Saat ini pemanfaatan gaharu
telah berkembang demikian meluas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body
lotion, bahan obat-obatan yang memiliki khasiat sebagai anti asmatik, anti
mikroba dan stimulant kerja syaraf dan pencernaan.
Sampai saat ini gaharu yang tersebar di pasaran di
dalam dan di luar negri masih berasal dari alam dengan kualitas kandungan resin
yang sangat bervariasi.
Di pasaran lokal (dalam negeri) kualitas gaharu di
kelompokan dalam 6 (enam) kelas mutu yaitu (1) SUPER (super king, super A,
super AB); (2) Tanggung (3) kacangan (kacangan A, B dan C); (4) Teri (teri A,
B, C, teri kulit A, B); (5) Kemedangan (A,B,C) (6) Sloan. Pengelompokan kelas
mutu gaharu tersebut berbeda dengan Standar Nasional Indonesi (SNI) yaitu kelas
Gubal, Kemedangan dan kelas Abu. Penetapan kelas mutu tersebut seringkali
merugikan pihak pencari gaharu/pedagang pengumpul kerena tidak didasari oleh
kriteria yang jelas.
Meningkatnya perdagangan gaharu sajak tiga
dasawarsa terakhir ini telah menimbulkan kelangkaan produksi gubal gaharu dari
alam. Berdasarkan informasi, harga gaharu kualitas super di pasaran lokal
Samarinda, Kalimantan timur mencapai Rp.15.000.000,- s/d Rp.30.000.000,-, di
susul kualitas tanggung dengan harga rata-rata Rp.10.000.000,-, kualitas
kacangan dengan harga rata-rata Rp.7.500.000,-, kualitas teri
(Rp.5.000.000,- s/d Rp.7.000.000,-), kualitas Kemedangan (Rp.250.000,- s/d
Rp.4.000.000,-) dan suloan (Rp.25.000,-).
Akibat dari pola pemanen yang berlebihan dan
perdagangan gaharu yang masih mengandalkan pada alam tersebut, maka jenis-jenis tertentu
misalnya Aquilaria danGyrinops saat ini sudah
tergolong langka, dan masuk dalam lampiran Convention on International
trade on Endangered Species of Flora and Fauna (Appendix II CITES).
Guna menghindari agar tumbuhan gaharu di alam tidak punah dan pemanfaatannya
dapat lestari maka perlu upaya konservasi, baik in-situ (dalam habitat) maupun
ek-situ (di luar habitat) dan budidaya serta rekayasa untuk mempercepat
produksi gaharu dengan teknologi induksi (inokulasi). Oleh karena itu maka
pengembangan budaya gaharu ke depan selain untuk konservasi juga
sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, pemerintah
daerah dan devisa bagi negara.
Teknik Budidaya
Pada saat ini teknik budidaya tanaman penghasil
gaharu telah dikuasai dengan baik dari mulai kegiatan perbenihan, persemaaian,
penanaman dan pemeliharaannya. Adapun beberapa faktor yang harus di
perhatikan dalam kegiatan budidaya pohon penghasil gaharu adalah sebagai
berikut:
Persyaratan Tumbuh
Untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal, pohon
penghasil gaharu perlu ditanam pada kondisi yang sesuai dengan tempat tumbuhnya
di alam. Tempat tumbuh yang cocok untuk tanaman penghasil gaharu adalah dataran
rendah, lereng-lereng bukit sampai ketinggian 750 meter di atas permukaan laut.
Jenis Aquilaria tumbuh sangat baik
pada tanah-tanah liat (misalnya podsolik merah kuning), tanah lempung berpasir
dengan drainase sedang sampai baik. Tipe iklim A-B dengan kelembaban sekitar
80%. Suhu udara antara 22-28 derajat Celsius dengan curah hujan berkisar antara
2.000 s/d 4.000 mm/tahun. Lahan tempat tumbuh yang perlu dihindari
adalah : (1) lahan yang tergenang secara permanen, (2) tanah rawa (3) lahan
dangkal (yang mempunyai kedalaman kurang dari 50 cm), (4) pasir kuarsa, (5)
lahan yang mempunyai pH kurang dari 4,0.
Pembibitan
Bibit tanaman penghasil gaharu dapat di kembangkan
melalui generatif dan vegatatif. Melalui generatif dilakukan dengan cara
memanfaatkan potensi benih yang sudah masak dengan mengunduh biji atau benih
yang jatuh dari pohon induk atau anakan (cabutan). Benih tanaman penghasil
gaharu termasuk biji yang relaksitran, yaitu biji yang cepat menurun kadar
airnya sehingga mempengaruhi daya kecambahnya. Oleh karena itu apabila benih
sudah di dapat, disarankan agar segera dilakukan penyemaian tanpa harus di
tunda-tunda.
Persemaian bibit penghasil gaharu dapat juga dibuat
skala misal melalui stek pucuk, stek batang dan kultur jaringan. Setiap teknik
perbanyakan akan mempunyai konsekuensi biaya produksi bibit.
Untuk perbanyakan stek pucuk, pengambilan bahan
stek dapat barasal dari kebun pangkas atau bibit tanaman. Bahan stek yang baik
adalah tunas yang tegak (autotrof) yang secara fisiologis muda, batangnya
berkayu dan mempunyai jumlah ruas (nodum) lebih dari dua. Dengan penambahan
hormon tertentu (yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan stek berakar dan
mempercepat proses pertumbuhan akar) maka bahan stek telah siap di tanam pada
bak pengakaran. Agar stek dapat berkembang menjadi bibit perlu pemeliharaan
yang intensif meliputi penyediaan media yang sesuai, kelembaban yang tinggi,
suhu udara dan cahaya yang cukup. Pemeliharaan dapat berlangsung sampai bibit
siap tanam yaitu antara 6 s/d 8 bulan.
Pada tahap awal di persemaian, semua jenis bibit
penghasil gaharu memerlukan naungan yang cukup (seperti halnya kelompok jenis
Meranti). Untuk mempercepat pertumbuhannya, bibit penghasil gaharu dapat
diinokulasi oleh cendawan mikoriza arbuskula (CMA) sejak dini di persemaian.
Penanaman
Penanaman bibit penghasil gaharu dapat
dilakukan secara agroforesty (tumpangsari) dengan tanaman jagung,
singkong, pisang atau tanaman di sela-sela tanaman pokok yang telah tumbuh
terlebih dahulu, seperti karet, akasia, sengon, kelapa sawit, dan lain-lain.
Pada tahap awal pertumbuhan di lapang bibit penghasil gaharu memerlukan
naungan. Dengan mengatur jarak tanam yang tepat, maka tanaman penghasil gaharu
tidak akan mengganggu pertumbuhan tanaman pokok.
Apabila tanaman penghasil gaharu akan ditanam pada
hamparan lahan yang luas dan masih kosong, maka jarak tanam dapat dibuat 3 m x
5 m, 4 m x 4 m atau 5 m x 5 m. Waktu penanaman di usahakan pada musim hujan
agar bibit mendapatkan air yang cukup pada awal pertumbuhannya. Media tanam
dapat berupa tanah dan kompos. Pada setiap lubang tanam di anjurkan untuk di
berikan pupuk kompos minimum 1 kg setiap lubang. Pada tahap ini perlu
diperhatikan mengenai pencegahan gangguan hama dan penyakit pada akar.
Pemeliharaan
Tanaman penghasil gaharu pada umur 1-3 tahun perlu
dipelihara secara intensif, terutama mengurangi gangguan dari gulma. Karena
tanaman penghasil gaharu telah bermikoriza, maka penggunaan pupuk kimia dapat
diminimalisir. Setelah tanaman berumur 4-5 tahun, barulah tanaman penghasil
gaharu siap untuk diinduksi secara buatan dengan menggunakan jamur pembentuk
gaharu.
Jamur Pembentuk Gaharu
Sejumlah isolat jamur hasil eksplorasi dari
berbagai daerah di Indonesia telah diidentifikasi berdasarkan ciri morfologis
untuk mengetahui keanekaragaman jenisnya. Hasil identifikasi menunjukan bahwa
sebagian besar isolate yang di peroleh merupakan genus Fusarium dan
isolate dari genus Cylindrocarpon.
Saat ini terdapat sekitar 23 isolat jamur jenis
Fusarium yang telah di isolasi dari 17 provinsi di Indonesia dan di uji coba
pada berbagai jenis tanaman penghasil gaharu di pulau Bangka, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Jawa Barat dan Banten. Ada 4 isolat jamur pembentuk gaharu
yang telah teruji dan membentuk infeksi gaharu dengan cepat. Uji coba lebih
lanjut ke 4 jamur tersebut telah dilakukan di beberapa tempat antara lain :
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Jawa Barat (Sukabumi dan Dramaga) dan
Banten (Carita). Dalam waktu satu bulan saja, tanaman penghasil gaharu yang
telah diinokulasi dengan jamur pembentuk gaharu di atas telah menunjukan tanda-tanda
keberhasilan.
Rekayasa Produksi
Tahapan rekayasa produksi gaharu secara buatan
melalui beberapa proses sebagai berikut :
1.
|
Isolasi jamur pembentuk. Isolate
jamur pembentuk di ambil dari jenis pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan
ekologi sebaran tumbuh jenis pohon yang di budidayakan.
|
2.
|
Identifikasi dan skrining. Isolate jamur
pembentuk di identifikasi berdasarkan taksonomi dan morfologinya. Proses
skrining dilakukan dengan menggunakanpostulat Koch untuk memastikan
jamur yang memberikan respons pembentuk gaharu, memang berasal dari jamur
yang diinokulasi.
|
3.
|
Teknik perbanyakan inokulum. Biakan murni
jamur pembentuk gaharu dapat di perbanyak pada media cair dan media padat.di
perlukan keterampilan khusus dalam memperbanyak jamur agar proses kemurnian
dan peluang masing-masing jenis jamur pembentuk gaharu akan memberikan respon
yang berbeda apabila di suntik pada jenis pohon penghasil gaharu yang
berbeda.
|
4.
|
Teknik induksi. Teknik
induksi jamur pembentuk gaharu dilakukan pada batang pohon penghasil gaharu.
Reaksi pembentukan gaharu akan dipengaruhi oleh daya tahan inang terhadap
induksi jamur dan kondisi lingkungan. Respon inang ditandai oleh perubahan
warna coklat setelah beberapa bulan disuntik. Semakin banyak jumlah lubang
dan inokulum di buat maka semakin cepat pembentukan gaharu terjadi. Proses
pembusukan batang oleh jamur lain dapat terjadi apabila teknik penyuntikan
tidak dilakukan sesuai prosedur.
|
5.
|
Pemanenan. Pemanenan
gaharu dapat dilakukan minimum satu tahun setelah proses induksi jamur
pembentuk gaharu. Apabila ingin mendapatkan produksi gaharu yang baik dari
segi kualitas maupun kuantitas, maka proses pemanenan dapat dilakukan 2-3
tahun setelah proses induksi jamur. Untuk sementara produksi gaharu buatan
yang di panen setelah 3 tahun beberapa pada kelas mutu 2 (SNI) dengan harga
jual US $ 800 per kg.
|
Source : Sulistyo A. siran, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan.
|
Saya punya kayu gaharu dan galih/ gubalnya, jenis aquilaria malacensis..insyalloh tidak kecewa, smntara masih glondongan untk lbih myakinkan pembeli, saya berminat segra menjualnya,smntara ada 2 kuintal, gubalnya masih didalam glondongan kayu, dan insyalloh kalo ini segra terjual saya mash mmpunyai stok yang super, saya BERNIAT MENJUALNYA SEGERA, BAGI YANG BERMINAT SEGRA HUBUNGI SAYA,
BalasHapusHubungi saya..bustamin batam, 082393992448
Saya punya kayu gaharu dan galih/ gubalnya, jenis aquilaria malacensis..insyalloh tidak kecewa, smntara masih glondongan untk lbih myakinkan pembeli, saya berminat segra menjualnya,smntara ada 2 kuintal, gubalnya masih didalam glondongan kayu, dan insyalloh kalo ini segra terjual saya mash mmpunyai stok yang super, saya BERNIAT MENJUALNYA SEGERA, BAGI YANG BERMINAT SEGRA HUBUNGI SAYA,
Hubungi saya.. bustamin batam, 082393992448 saya